Tanggal Lahir
23 September 1927
Tanggal Wafat
20 9 Ma
Biografi
Tua-tua kelapa makin tua makin berminyak, begitu bunyi sebuah ungkapan. Ungkapan tersebut kiranya tepat untuk melukiskan Prof Dr Widjojo Nitisastro, yang pada 23 September 2007 tepat berusia 80 tahun.
Meskipun telah mencapai usia senja, dengan fisik yang makin lama makin lemah, prof Widjojo tetap saja berkiprah dalam memikirkan bangsa dan negaranya. Dalam beberapa tahun terakhir, para pejabat pemerintahan masih datang meminta bantuanya. Para muridnya juga masih terus berdatangan untuk memperoleh percikan pengetahuan dan wawasannya. Tak mengherankan, karena Prof Widjojo adalah satu sosok yang luar biasa jasanya bagi negeri ini. "Tak diragukan lagi, ia mempunyai dampak individual terbesar dalam perekonomian Indonesia," tulis Newsweek dalam sebuah laporannya.
Presiden boleh berganti, tetapi Widjojo Nitisastro ibarat magnet yang mempengaruhi para pengusaha. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), misalnya, Prof Widjojo didapuk untuk memimpin tim Ekonomi Indonesia pada pertemuan Paris Club pada april 2000. Misi ekonomi tersebut sukses. Kelompok donor yang beranggotakan 19 negara itu menyetujui penjadwalan kembali pembayaran utang RI untuk periode April 2000 hingga Maret 2002 senilai 5,9 miliar AS. Gus Dur pun sangat gembira dengan hasil itu. Pasalnya, tak bisa dibayangkan seandainya misi itu gagal. Indonesia jelas kan kelimpungan mencari dana membayar utang-utang pemerintah yang jatuh tempo itu.
Dalam pandangan ekonomi Mohammad Saldi, Prof Widjojo Nitisastro adalah orang yang punya peran besar dalam keberhasilan tim itu. "Jasa terbesar datang dari Prof. Widjojo. Hanya dialah, berkat pengalaman mewakili Indonesia berunding dengan Paris Club, tahu seluk beluk dan liku-liku Paris Club," kata Sandi di sebuah kolomnya di TEMPO interaktif. Menurut Saldi, menteri-menteri ekonomi kita yang baru tidak punya pengalaman menghadapi hal itu. Karena itu, tambah Saldi,95 persen kerja delegasi Indonesia adalah arahan Widjojo.
Keberhasilan itu mendorong Gus Dur menunjuk Prof Widjojo menjadi ketua Tim Asistensi Ekonomi Pemerintahan. Ini dipandang agak mengejutkan, karena sebelumnya, Prof Widjojo dan Prof Ali Wardhana pernah menolak menjadi anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN). "Kami menyampaikan terima kasih atas kepercayaan tersebut. Tetapi, kami berdua ini sudah tua, Pak Ali Wardhani sudah 71 tahun, saya sudah 72 tahun. Kami akan membantu, tetapi tidak sebagai anggota," kata Widjojo waktu itu.
Ketika krisis moneter mulai menggerogoti Indonesia pada 1997, Presiden Soeharto pernah pula menugaskan Widojo untuk mengambil langkah penyelamatan. "Sejumlah keputusan yang berkaitan dengan perkembangan moneter akhir-akhir ini akan dikoordinasikan Prof. Widjojo Nitisastro," kata Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad ketika menjelaskan hasil sidang kabinet bersama menpen Hartono dan Gubernur BI Soedradjad Djiwandono dibina graham, 9 Oktober 1997.
Widjojo memang sangat handal dalam bidang ekonomi. Sejak awal orde baru ia telah dipercayai sebagai orang yang turut memikirkan dan bertanggungjawab terhadap perekonomian Indonesia. Tak heran kalau ada yang menyebut dirinya sebagai "arsitek utama" perekonomian orde baru.
Pada usia yang relatif masih sangat muda, 39 tahun, ia telah dipercaya sebagai ketua tim penasehat ekonomi presiden (1966). Beberapa kali setelah itu ia duduk sebagai menteri kabinet pada posisi yang sesuai dengan bidang tugasnya, yakni ekonomi. Dari tahun 1971 sampai 1973 ia menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Kemudian secara berturut-turut, dari tahun 1973 sampai 1983, ia dipercayakan sebagai Menko Ekuin merangkap Ketua Bappenas.
Menurut beberapa kalangan, mantan Presiden Soeharto sangat percaya pada Widjojo. Loyalitas Widjojo agaknya adalah jawaban mengapa Presiden selalu memanggilnya pada saat kritis. Dan loyalitas itu pula yang tampaknya yang membuat Widjojo dicintai anak buahnya. Mereka masih tetap memberi laporan kepadanya, meskipun ia tidak lagi menjadi menteri.
Tetapi Widjojo tidak imun kritik. la bahkan pernah menghadapi berbagai kecaman. Tahun 1970, sebuah majalah kaum "Kiri Baru" Amerika menyebutkannya sebagai tokoh gerombolan "Mafia Berkeley". Maksudnya, ia disebutkan sebagai antek Amerika karena dididik di kampus Berkeley AS. Setahun kemudian, kecaman itu pun sempat "dikuatkan" kembali (beberapa) Koran di Indonesia. Di situ digambarkan bahwa Widjojo telah menyusun suatu strategi pembangunan yang kurang lebih menyerahkan kedaulatan ekonomi Indonesia ke tangan Barat. Tetapi Widjojo tidak terlalu ambil pusing terhadap cemoohan itu.
Ekonomi terkemuka Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo yang juga seniornya, mempunyai kesan mendalam tentang Widjojo. Hal itu diungkapkan setelah Soemitro dan Widjojo menerima penghargaan Piagam Hatta dari Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) tahun 1985 silam. "Sebagai kakak, saya merasa bangga mempunyai adik yang tampil sebagai arsitek orde baru, di mana saya ikut sebagai satria pendamping dan peserta team," kata Sumitro, yang sepuluh tahun lebih tua dari Widjojo, seperti dikutip TEMPO edisi 2 Februari 1985. Pemberian penghargaan kepada perencana yang tangguh, sekaligus pelaksanaan rencana yang konsisten.
Jauh sebelumnya ketika masih menjadi mahasiswa di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), bersama seorang ahli dari Canada Prof. Dr. Nathan Keyfiz, Widjojo dengan gemilang menulis sebuah buku, yang menjadi salah satu buku yang amat popular di kalangan mahasiswa ekonomi pada tahun 1950-an. Buku itu berjudul "Soal Penduduk dan Pembangunan Indonesia". Tak tanggung-tanggungan, Mohammad Hatta (alm.) dengan bangga member kata pengantarnya. Di situ Hatta menulis: "Seorang putra Indonesia dengan pengetahuannya mengenai masalah tanah airnya, telah dapat bekerja sama dengan ahli statistik bangsa Canada. Mengolah buah pemikirannya yang cukup padat dan menuangkan dalam buku yang berbobot.
Anak Pemilik SD
Berasal dari keluarga seorang guru di zaman kolonial, Ayahnya, Nitisastro, akhirnya pensiun sebagai penilik Sekolah Rakyat (sekarang SD) di Jombang. Sang ayah juga dikenal sebagai seorang aktivis Partai Indonesia Raya (Parindra) yang menggerakkan Rukun Tani. Beberapa saudaranya menolak bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda dan menjadi guru Taman Siswa. Salah seorang kakaknya, dr Angka Nitisastro, dikenal sebagai tokoh pendiri Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS). Rumah keluarga Nitisastro di Jombang hingga kini masih dihuni keturunan guru tersebut.
Widjojo tidak begitu suka membicarakan keluarganya, sehingga tidak banyak informasi mengenai masa kecilnya. Tetapi kawan-kawannya mengatakan bahwa ketika pecah Revolusi Kemerdekaan di Surabaya, Widjojo baru duduk di kelas I SMT (tingkat SMA). Pada tahun 1945 ia bergabung dengan pasukan pelajar yang kemudian dikenal sebagai TRIP. Seorang teman dekatnya, Pansa Tampubolon - pendeta Advent yang kini bekerja di sebuah group penerbitan - bercerita tentang kegigihan Widjojo. "Widjojo anak pemberani. Bertempur dengan granat di tangan, ia nyaris gugur di daerah Ngaglik dan Gunung Sari Surabaya," katanya.
Usai perang, Widjojo sempat mengajar di SMP selama tiga tahun. Kemudian ia kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan mengkhususkan diri pada bidang demografi. Berkat kecerdasan dan kegigihannya, ia lulus dari FE UI dengan predikat cum laude. Kemudian saat mengambil gelar doctor ekonomi di Universitas Berkeley, California, AS, 1961, Widjojo muncul sebagai sarjana paling menonjol. Dan sejak itu karirnya melesat.
Pada awal tahun 1980-an, namanya sempat pula mencuat sebagai bakal calon wakil presiden periode 1983-1988. la dicalonkan Forum Studi dan Komunikasi (Fosko), suatu organisasi beranggotakan bekas aktivis angkatan 66. Tapi hal itu serta merta dibantah Widjojo. "Saya merasa tidak memiliki kemampuan untuk jabatan wakil presiden.," kata peraih Penghargaan Kependudukan 1992 ini, suatu kali (TEMPO,5 Februari 1983).
Tahun 1984, Widjojo menerima penghargaan dari Universitas Berkeley, California, AS, yakni Elise Walter Haas Award. Penghargaan tradisi tahunan universitas tersebut diberikan kepada bekas mahasiswa asing yang jasa-jasanya dianggap menonjol. Dan Widjojo merupakan orang Indonesia pertama yang menerima penghargaan ini.
Widjojo memang seorang pekerja keras. "Biasa membawa pekerja ke rumah, dan tidak jarang menyelesaikannya sampai malam," kata Sulendra, yang pernah lama menjadi sekretaris pribadinya.
Dalam usianya yang terus merambat tua sekarang prof Widjojo hidup tenang bersama keluarganya di kawasan Pondok Indah Jakarta. Dua anaknya sudah lama berkeluarga.[]